Zombie Outbreak Senja Jingga yang Membakar Kota Terlupakan

Di balik rona jingga yang membakar langit sakit, kota itu berdiri dalam keheningan yang mengerikan. Bangunan-bangunan menjulang seperti nisan-nisan raksasa, menyaksikan kematian peradaban yang mereka lindungi. Angin sore membawa aroma busuk dari daging yang membusuk di antara lorong-lorong kosong. Di akhir kisahnya dimulai senja yang tak biasa, di tengah dunia yang telah berubah menjadi mimpi buruk sebuah wabah Zombie Outbreak yang memberikan harapan dan kemanusiaan.

Zombie Outbreak Awal dari Kiamat

Tidak ada yang tahu pasti dari mana asal virus itu. Beberapa menyalahkan eksperimen militer, lainnya terkait dengan kutukan kuno yang terlupakan. Namun yang pasti, mereka yang terinfeksi tidak mati. Kulit mereka pucat, mata kosong, dan gerakan lamban tapi tak kenal lelah. Mereka bukan lagi manusia. Mereka adalah mayat hidup.

Dalam hitungan hari, kota-kota besar runtuh. Sistem pemerintahan hancur, koneksi komunikasi terputus, dan rasa saling percaya kuburan di balik kebohongan mereka yang dimangsa.

Senja yang Terakhir

Senja seharusnya menjadi momen keindahan jeda damai antara terang dan gelap. Tapi hari itu, senja menjadi pertanda kehancuran. Jalanan dipenuhi darah, mayat berserakan, dan langit menjadi saksi bisu dari kegilaan yang menyebar tanpa arah.

Di satu sudut kota, seorang remaja bernama Tia bersembunyi di balik rak buku perpustakaan tua. Ia memegang erat sebuah radio tua yang sesekali berdesis, mencari sinyal dari dunia yang mungkin masih waras. Matanya terus mengintip di jendela bukan karena takut pada zombie, tapi karena dia tahu: saat matahari terbenam sepenuhnya, kawanan itu akan menjadi lebih ganas. Senja bukan lagi waktu untuk pulang. Senja kini adalah isyarat untuk bertahan.

Melawan di Tengah Keputusasaan

Beberapa kelompok kecil masih bertahan. Mereka membentuk komunitas bawah tanah, menyusun rencana evakuasi, dan berbagi informasi melalui grafiti dan simbol-simbol rahasia. Di antara ketakutan dan rasa kehilangan, semangat manusia tak sepenuhnya padam. Mereka mulai mengenali pola gerakan zombie, belajar bertahan hidup tanpa listrik, dan membangun kepercayaan dari abu kehancuran.

Apakah Harapan Masih Ada

Selama masih ada senja, dunia belum sepenuhnya gelap,” begitu kata seorang penyunting tua yang dikenal dengan nama Pak Aris. Ia menulis puisi di dinding runtuh, menggunakan darah tinta sebagai, sebagai bentuk perlawanan simbolik terhadap kehancuran. Senja telah berubah arti dari waktu istirahat menjadi waktu refleksi. Di tengah mayat hidup, senja adalah pengingat bahwa meskipun dunia tampak mati, keindahan masih bisa lahir dari sisa-sisa peradaban.

Zombie Outbreak Percikan di Tengah Abu

Tia menahan napas. Dari sela-sela jendela perpustakaan yang retak, ia menyaksikan dua sosok melintas perlahan di jalan utama bukan mayat hidup, tapi manusia. Wajah mereka tertutup masker kain lusuh, satu di antara mereka membawa tombak besi, sementara yang lain memikul ransel yang hampir robek. Mereka berhenti sejenak, memandangi langit yang menghitam.

Perjalanan Tanpa Jaminan

Tia akhirnya memutuskan mengikuti mereka. Langkahnya ringan, seperti bayangan. Ia berada cukup jauh agar tak terlihat, tapi cukup dekat untuk tetap membuntuti. Sepanjang perjalanan, kota itu menampilkan wajahnya yang paling muram: taman bermain yang sunyi, sekolah-sekolah yang ditinggalkan, dan spanduk darurat yang berkibar putus di tiang listrik patah bertuliskan “SELAMATKAN DIRI ANDA SENDIRI”.

Sedihnya, mereka akhirnya bertemu. Tak ada kata pertama yang diucapkan. Hanya terjadi suatu kejadian yang bercampur aduk. Laki-laki bertombak memperkenalkan diri sebagai Bram, dan gadis di dekatnya bernama Ayu. Mereka adalah sisa dari sebuah komunitas kecil yang disebut Sinar Selatan, bersembunyi di jalur kereta bawah tanah.